PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Qawaid sebagian lain mengatakan metode ini sebagai Qaidah secara
bahasa berarti prinsip – prinsip dasar atau beberapa asas dari segala sesuatu.
Sedangkan Fiqhiyyah berarti pemahaman mendalam dalam suatu masalah. Secara istilah
Qawaid Fiqhiyyah merupakan prinsip – prinsip umum terhadap suatu hukum yang
didapat melalui pemikiran yang mendalam dari dalil – dalil yang terperinci yang
mencakup keseluruhan.
Secara ringkas dapat diketahui dari sudut sejarahnya, Qawaid
Fiqhiyyah bermula dari masa Nabi Muhammad saw dalam bentuk embrio. Namun Qawaid
Fiqhiyyah belum terstruktur pada saat
ini, karena pada masa ini Nabi sebagai prioritas tinggi dalam pengambilan
hukum. Sehingga para sahabat mengikuti hukum berdasarkan syariat yang dibawa
oleh Nabi Muhammad saw. Walaupun begitu, pada masa ini Nabi belum secara
keseluruhan menjelaskan dalil – dalil secara rinci, hingga sampai sekarang ada
beberapa dalil-dalil yang menumbulkan beberapa tafsir terhadap dalil tersebut.
Pada masa-masa berikutnya setelah Nabi wafat, umat Islam semakin
berkembang dan luas, dan dalil – dalil nash yang terbatas sedangkan persoalan
furuiyyah yang tidak terbatas, maka mulai bermunculanlah ijtihad – ijtihad
sahabat dan ulama – ulama yang mengkaji secara mendalam tentang persoalan yang
mesti terjawab.
Untuk menjawab persoalan-persoalan furu’iyyah ini, para Ulama
mengkaji dengan metode – medote khusus selagi tidak bertentangan dengan syariat
Islam, demi keutuhan umat dalam menjalankan kehidupan.
Dampak munculnya ijtihad ini dengan terbentuk beberapa mazhab.
Namun, ini menyebabkan kecendrungan taqlid terhadap mazhab-mazhab tertentu.
Sedangkan keinginan untuk berijtihad semakin berkurang. Sehingga menjadikan
menjadikan terkotak-kotaknya fiqh dalam mazhab. Karena setiap kali terjadi
persoalan, pada masa selanjutnya, mereka tidak memiliki pilihan lain selain
merujuk kepada kitab mazhab. Ini mula qawaid fiqhiyyah disistematik sebagai
disiplin ilmu dan dibukukan pada abad 4 H.
Dengan tersusunnya pembukuan tentang Qawaid Fiqhiyyah sebagai
sumber – sumber kitab fiqih, maka taqlid terhadap mazhab mulai berkurang. Kita
dapat mengetahui para ahli fiqih ketika memberikan alasan dan pendapat dari
hukum dan penilaian terhadap suatu masalah furu’.
Sekalipun Qawaid sebagai sumber – sumber kitab fiqh bagi para ahli
fiqh, Qawaid Fiqhiyyah untuk menjadi suatu ilmu membutuhkan sumber – sumber
hingga terbentuk menjadi Qawaid Fiqhiyyah sepeti yang ditemukan sekarang.
Berangkat dari persoalan di atas, maka dalam makalah ini penulis
berusaha menguraikan apa saja sumber – sumber dari Qawaid Fiqhiyyah sehingga
menjadi suatu rujukan bagi para ahli fiqh.
Sehingga penulis membuat makalah yang berjudul : “Sumber – sumber Qawaid Fiqhiyyah”.
B.
Rumusan dan Batasan
Masalah
Agar pembahasan dalam penulisan makalah ini jelas dan terarah,
serta tidak menyimpang dari pembahasan, maka Penulis memberi rumusan dan
batasan masalah sebagai berikut:
1.
Rumusan Masalah
Adapun
rumusan masalah dalam penulisan makalah ini adalah “ Apa saja sumber – sumber
yang terkait dalam terbentuknya Qawaid Fiqhiyyah?”
2.
Batasan Masalah
Yang
menjadi batasan masalah dalam makalah ini adalah apa saja sumber - sumber
Qawaid Fiqhiyyah ?
C.
Tujuan Penulisan
1. Tujuan Penulisan secara umum
Adapun tujuan Penulis membahas makalah
ini adalah :
a. Untuk mengetahui apa saja yang menjadi
sumber dari Qawaid Fiqhiyyah
b. Untuk mengetahui sumber qaidah yang
digunakan para ahli fiqih dalam mazhabnya
2. Tujuan Penulisan secara khusus
a. Untuk memenuhi tugas terstruktur dalam
mata kuliah Qawaid Fiqhiyyah
b. Untuk mencari ridha Allah SWT dan
mengembangkan displin ilmu terkhusus dalam qawaid fiqhiyyah ini dengan menbahas
apa saja yang menjadi latar belakang dalam makalah ini.
BAB II
SUMBER –
SUMBER QAWAID FIQHIYYAH
Qawaid Fiqhiyyah adalah sebuah disiplin ilmu yang
menjadi dasar memberikan alasan terhadap para ulama dalam memberikan alasan
dari hukum yang mereka perpegangi. Terbentuknya Qawaid Fiqhiyyah sebagai sebuah
ilmu, tidak terlepas dari sumber – sumber yang menjadi dasar sehingga menjadi
sebuah Qawaid Fiqhiyyah. Adapun sumber-sumber Qawaid Fiqhiyyah di antaranya :
A. Al quran
Al Quranul Karim merupakan sumber pokok dan dalil
utama bagi hukum syariat Islam. Kumpulan firman – firman Allah yang diturunkan
kepada Nabi Muhammad saw dan dinukilkan dengan jalan mutawatir.
Ayat – ayat Al quran Allah turunkan dengan cara
yang terpisah – pisah menurut kejadian dan peristiwa dalam masyarakat pada
waktu itu. Oleh karena itu peristiwa tersebut di dalam istilah hukum Islam di
sebut asbabun nuzul.
Aturan – aturan hukum syariat ini berlakunya
berangsur – angsur menurut situasi sebab – sebab turunnya ayat, disesuaikan
dengan kemampuan umat pada masa dahulu. Membutuhkan stategi tepat untuk
pendekatan kepada masyarakat jahiliyyah untuk meninggalkan kebiasaan yang
dilarang oleh syariat Islam dan mengubah hukum mereka yang sudah kuno dengan
hukum baru. Hal itu dapat dilihat dengan
jelas seperti aturan larangan minum khamar dan maisir.
Kebanyakan hukum yang ada dalam Al quran bersifat
umum dan tidak membicarakan soal – soal juz’i, dengan artian tidak satu persatu
dijelaskan secara rinci dalam Al quran. Karena itu, Al quran membutuhkan penjelasan – penjelasan.
Di antaranya melalui Hadits. Dapat diketahui bahwa ayat Al quran yang umum
seperti masalah shalat, zakat, jihad dan urusan – urasan lainnya, dijelaskan
dengan Hadits. Selain itu, untuk menyingkapi persoalan kekinian yang
membutuhkan jawaban untuk persoalan ini, maka para ulama menggunakan ijma’ dan
qiyas dalam mengambil suatu hukum.
Qawaid Fiqhiyyah bersumber dari teks Al quran untuk
menyusun suatu kaidah, seperti kaidah التيسير تجلب المشقة
(Kesulitan itu bisa mendatangkan kemudahan). Dalil yang menjadi patokan dari
kaidah ini yaitu dalam surat AlBaqarah ayat 185
... العسر بكم يريد لا و العسر بكم الله يريد ...
“Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak
menghendaki kesukaran bagimu . . .
Surat Al-Baqarah ayat 286
وسعها الا نفسا الله يكلف لا
“Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai
dengan kesanggupannya”
Dari prinsip-prinsip yang termuat dalam teks ayat
di atas memberikan isyarat bahwa dalam hukum syar’i tidak didapati suatu
tuntutan yang melewati batas kemampuan hambanya. Pada hakikatnya bertujuan
untuk memberikan kemudahan dan keringanan.[2]
Dan contoh kaidah lain yaitu يزال الضرر ( Kemudharatan itu harus
dihilangkan), ayat Al quran yang senada dengan kaidah ini adalah surat
Al-Baqarah ayat 231:
ولا تمسكوهن ضراراً لتعتدوا
“janganlah kamu rujuki mereka
untuk memberi kemudharatan, karena dengan demikian kamu menganiaya mereka”
B. Sunnah
Sunnah merupakan segala yang dinukilkan atau
diberitakan dari Nabi saw, baik berupa perkataan, perbuatan ataupun ketetapan
nabi. Melihat dari pengertian di atas, sunnah dapat dibagi atas : Sunnah
Qauliyyah, Sunnah Fi’liyyah, dan Sunnah Taqririyyah.
Sunnah ada kalanya mutawatir dan ada kalanya ahad.
Ulama sepakat bahwa hadits mutawatir dapat
menjadi hujjah. Berkenaan hadits ahad, para ulama berbeda pendapat dalam
menjadi kan hadits ahad sebagai hujjah. Namun hadits yang shahih yang dapat
diterima untuk dijadikan hujjah, dan menjadi sumber kaidah.
Rasulullah saw selalu menyampaikan segala sesuatu
dengan cara singkat, padat, lugas dan mudah dipahami. Dengan demikian, ucapan
beliau banyak menjadi inspirasi dalam lahirnya qawaid fihiyyah. Contoh kaidah
yang merujuk kepada sunnah atau hadits yaitu :
الأمور بمقاصدها ( hukum semua perkara itu sesuai dengan
tujuan atau niatnya)
Kaidah
ini berkaitan dengan dalil hadits yang disampaikan oleh Rasulullah yang
berbunyi, انما الاعمال بالنيات “sesungguhnya amal perbuatan bergantung pada
niatnya”[3].
Contoh
lain seperti kaidah الضرر يزال (
kemudharatan itu harus dihilangkan).
Kaidah
ini sama dengan hadits Nabi sawyang isinya:
لا ضرر ولا
ضرار (رواه ابن ما جه)
“Tidak
boleh membuat mudharat terhadap diri sendiri dan tidak b oleh memudharatkan
orang lain”
C.
Ijma’
Setelah
Al Quran dan Sunnah, maka Ijma’ sebagai sumber ketiga menurut para ulama
sebagai sumber hukum syari’at Islam. Ijma’ merupakan suatu kemufakatan atau
kesatuan pendapat para ahli muslim yang mujtahid dalam segala zaman mengenai
sesuatu ketentuan hukum syari’at.[4]
Ijma’
sebagai hujjah dengan berdasarkan dalil Al quran yaitu dalam potongan ayat
surat An nisa ayat 115
منكم الأمر اولي و الرسول اطيعوا و الله اطيعوا امنوا الذين ياايها
“wahai
orang – orang yang beriman taatlah kamu kepada Allah dan taatlah kamu kepada
Rasul dan ulil amri dari kamu sekalian...”
Adapun kaidah yang berdasarkan pada ijma’
yaitu :
(Tidak
ada ijtihad jika sudah ada nash) النص مع اجتهاد لا
D.
Ijtihad
Ijtihad dalam pengertian bahasa yaitu meluangkan
kesempatan dan mencurahakan kesungguhan. Adapun dalam pengertian istilah yaitu
meluangkan kesempatan dalam usaha untuk mengetahui ketentuan – ketentuan hukum
dalam dalil Syari’at
Segala persoalan hukum ulama – ulama mujtgahid
selalu memakai ketentuan – ketentuan nash kecuali jika pada suatu persoalan
tidak terdapat dalil nash mengungkapkan, maka disini mereka mengqiyaskan
perkara ini kepada perkara lain yang memiliki sama illatnya.[5]
Dalam ijtihad, adapun contoh kaidah yang digunakan
yaitu “ijtihad yang lalu, tidak bisa dibatalkan ijtihad yang baru”
Hal ini berdasarkan perkataan dari Umar Bin Kattab :
“itu adalah yang kami putuskan pada masa lalu dan
ini adalah yang kami putuskan sekarang”
Dari kaidah di atas maksudnya yaitu ijihat yang satu
tidak dapat membatalkan ijtihad yang lain, tidak dapat diganggu gugat, selagi
tidak ada ijtihad yang lebih kuat yang dapat membantah.
E.
Qiyas
Qiyas dari segi bahasa merupakan mengukurkan sesuatu
atas lainnya dan mempersamakannya.
Secara istilah ialah menetapkan hukum sesuatu
perbuatan yang belum ada ketentuannya, berdasarkan sesuatu yang sudah ada
ketentuan hukumnya.
Adapun rukun qiyas ada empat macam
1.
Asal (pokok) yaitu yang menjadi ukuran
(maqis ‘alaih)
2.
Far’un (cabang) yaitu yang diukur
(maqis) atau yang diserupakan
3.
Illat, yaitu sebab yang menggabungkan
pokok dengan cabang
4.
Hukum, yaitu yang ditetapkan bagi cabang
dan sama dengan yang terdapat pada pokok[6]
Salah satu kaidah yang mirip dengan qiyas yaitu
الحوادث
تضاف الي اقرب الأوقاف
“sesuatu yang baru terjadi disandarkan pada waktu terdekatnya”[7]
F.
Istihsan
Istihsan ialah meninggalkan hukum sesuatu
hal/peristiwa yang bersandar kepada dalil syara’ menuju kepada hukum lain yang
bersandar kepada dalil syara’ pula, karena ada suatu dalil syara’ yang
mengharuskan peninggalan tersebut.
Dalam istihsan, ada dua dalil untuk menetapkan hukum
sesuatu hal, kemudian seseorang mujtahid meninggalkan salah satu dalil yang
jelas/ kuat untuk menuju kepada dalil yang lain, karena ada sesuatu hal.[8]
Salah satu
kaidah yang menjadikan istihsan sebagai sumber qawaid yaitu
“Apabila
bertentangan dua mafsadat, maka perhatikan mana yang lebih besar madaratnya
dengan dikerjakan lebih ringan kepada mudaratnya”
G.
Istishab
Dari segi bahasa perkataan
Istishab diambil dari perkataan
“istishabtu ma kaana fil maadhi” artinya saya membawa serta apa yang
telah ada waktu yang lampau sampai sekarang.
Secara istilah,
melanjutkan berlakunya hukum yang telah ada dan yang telah ditetapkan karena
sesuatu dalil, sampai ada dalil lain yang mengubah kedudukan hukum tersebut. [9]
Contoh kaidah yang merujuk kepada
istishab:
الاصل بقاء ما كان علي ما كان ما لم يكن ما يغيره
“Hukum asal itu tetap dalam
keadaan tersebut selama tidak ada hal lain yang mengubahnya”
H.
Mashlahah Mursalah
Merupakan kebaikan (mashlahah) yang tidak
disinggung-singgung syara’, untuk mengerjakan atau meninggalkannya, sedangkan
kalau dikerjakan akan membawa manfaat atau menghindari keburukan.[10]
Salah satu
kaidahnya
أنه
يقدم في كل ولاية من هو
“Sesuatu
yang lebih mampu mewujudkan kemaslahatan dalam tiap wilayah lebih didahulukan”[11]
I.
Urf
‘Urf
ialah apa yang biasa dijalankan orang, baik dalam kata-kata maupun perbuatan.
Dengan kata lain ialah adat istiadat.
Alasan
pengambilan ‘Urf diantaranya
1.
Syari’at Islam dalam mengadakan hukum
juga memperhatikan kebiasaan urf yang berlaku padda bangsa Arab, seperti syarat
kafaah dalam perkawinan dan urut-urutan perwalian dalam nikah dan pewarisan
harta pusaka atas dasar ashabah.
2.
Apa yang dibiasakan orang, baik
kata-kata maupun perbuatan, menjadi pedoman hidup mereka yang membutuhkan.
Salah satu contoh
kaidah yang menjadikan
Urf sebagai sumber qawaidnya
العادة
محكمة
“adat
istiadat itu ditentukan sebagai hukum”[12]
J.
Sadduz Zari’ah
Yaitu menumbat
segala sesuatu yang menjadi jalan kerusakan.
Salah satu
rujukan kaidah yaitu
“Menolak
kerusakan harus didahulukan daripada menarik kemaslahatan”[13]
BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Dari
pemaparan diatas dapat kita ambil kesimpulan bahwa sumber – sumber
qawaid fiqhiyyah diantaranya Alquran, Sunnah, ijma’ , ijtihad, dan qiyas.
B. SARAN
Dengan
mempelajari makalah ini, penulis menyarankan agar kita mampu mengambil
informasi dari tentang sumber – sumber qawaid fiqhiyyah, sehingga dapat
dipahami dan diamalkan dari penjelasan dari bahan ini ke dalam yang terkait
dengan Qawaid Fiqhiyyah.
[4]
A. Hanafie, Ushul Fiqh, (Jakarta : Widjaya, 1962), hal. 125
[5]
Ahmad Sudjono, Alih Bahasa: Filsafat Hukum dalam Islam, (Bandung :
Almaarif, 1981), hal.142
[6]
Loc cit, A. Hanafie, hal.128
[7]
Op cit, Ahmad Sudirman Abbas, hal, 132
[8]
Loc cit, A. Hanafie, hal. 142
[9]
Ibid, hal. 141
[10]
Ibid, A. Hanafie, Hal.
144
[11]
Op cit, Ahmad Sudirman Abbas, hal 141
[12]
Imam Musbikin, Qawaid
Fiqhiyah, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2001), hal. 91
[13]
Ibid
Daftar Pustaka
Abbas, Ahmad Sudirman. 2008. Sejarah Qawaid Fiqhiyyah. Ciputat :
Adelina
---------------------------. 2008. Qawaid Fiqhiyyah.Ciputat : Adelia
Hanafie, A. 1962. Usul Fiqh. Jakarata : Widjaya
Sudjono, Ahmad.1981. Alih Bahasa : Filsafat Hukum dalam Islam.
Bandung : Almaarif
Tidak ada komentar:
Posting Komentar