CINTA SEJATI

CINTA SEJATI
Ahlan Wasahlan di Blog Ane

Selasa, 28 Januari 2014

kaidah ushul fiqhiyah

BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Qawaid sebagian lain mengatakan metode ini sebagai Qaidah secara bahasa berarti prinsip – prinsip dasar atau beberapa asas dari segala sesuatu. Sedangkan Fiqhiyyah berarti pemahaman mendalam dalam suatu masalah. Secara istilah Qawaid Fiqhiyyah merupakan prinsip – prinsip umum terhadap suatu hukum yang didapat melalui pemikiran yang mendalam dari dalil – dalil yang terperinci yang mencakup keseluruhan.
Secara ringkas dapat diketahui dari sudut sejarahnya, Qawaid Fiqhiyyah bermula dari masa Nabi Muhammad saw dalam bentuk embrio. Namun Qawaid Fiqhiyyah  belum terstruktur pada saat ini, karena pada masa ini Nabi sebagai prioritas tinggi dalam pengambilan hukum. Sehingga para sahabat mengikuti hukum berdasarkan syariat yang dibawa oleh Nabi Muhammad saw. Walaupun begitu, pada masa ini Nabi belum secara keseluruhan menjelaskan dalil – dalil secara rinci, hingga sampai sekarang ada beberapa dalil-dalil yang menumbulkan beberapa tafsir terhadap dalil tersebut.
Pada masa-masa berikutnya setelah Nabi wafat, umat Islam semakin berkembang dan luas, dan dalil – dalil nash yang terbatas sedangkan persoalan furuiyyah yang tidak terbatas, maka mulai bermunculanlah ijtihad – ijtihad sahabat dan ulama – ulama yang mengkaji secara mendalam tentang persoalan yang mesti terjawab.
Untuk menjawab persoalan-persoalan furu’iyyah ini, para Ulama mengkaji dengan metode – medote khusus selagi tidak bertentangan dengan syariat Islam, demi keutuhan umat dalam menjalankan kehidupan.
Dampak munculnya ijtihad ini dengan terbentuk beberapa mazhab. Namun, ini menyebabkan kecendrungan taqlid terhadap mazhab-mazhab tertentu. Sedangkan keinginan untuk berijtihad semakin berkurang. Sehingga menjadikan menjadikan terkotak-kotaknya fiqh dalam mazhab. Karena setiap kali terjadi persoalan, pada masa selanjutnya, mereka tidak memiliki pilihan lain selain merujuk kepada kitab mazhab. Ini mula qawaid fiqhiyyah disistematik sebagai disiplin ilmu dan dibukukan pada abad 4 H.
Dengan tersusunnya pembukuan tentang Qawaid Fiqhiyyah sebagai sumber – sumber kitab fiqih, maka taqlid terhadap mazhab mulai berkurang. Kita dapat mengetahui para ahli fiqih ketika memberikan alasan dan pendapat dari hukum dan penilaian terhadap suatu masalah furu’.
Sekalipun Qawaid sebagai sumber – sumber kitab fiqh bagi para ahli fiqh, Qawaid Fiqhiyyah untuk menjadi suatu ilmu membutuhkan sumber – sumber hingga terbentuk menjadi Qawaid Fiqhiyyah sepeti yang ditemukan sekarang.
Berangkat dari persoalan di atas, maka dalam makalah ini penulis berusaha menguraikan apa saja sumber – sumber dari Qawaid Fiqhiyyah sehingga menjadi suatu rujukan bagi para ahli fiqh.
Sehingga penulis membuat makalah yang berjudul : “Sumbersumber Qawaid Fiqhiyyah”.
B.     Rumusan dan Batasan Masalah
Agar pembahasan dalam penulisan makalah ini jelas dan terarah, serta tidak menyimpang dari pembahasan, maka Penulis memberi rumusan dan batasan masalah sebagai berikut:
1.      Rumusan Masalah
Adapun rumusan masalah dalam penulisan makalah ini adalah “ Apa saja sumber – sumber yang terkait dalam terbentuknya Qawaid Fiqhiyyah?”
2.      Batasan Masalah
Yang menjadi batasan masalah dalam makalah ini adalah apa saja sumber - sumber Qawaid Fiqhiyyah ?
C.    Tujuan Penulisan
1.      Tujuan Penulisan secara umum
Adapun tujuan Penulis membahas makalah ini adalah :
a.       Untuk mengetahui apa saja yang menjadi sumber dari Qawaid Fiqhiyyah
b.      Untuk mengetahui sumber qaidah yang digunakan para ahli fiqih dalam mazhabnya
2.      Tujuan Penulisan secara khusus
a.       Untuk memenuhi tugas terstruktur dalam mata kuliah Qawaid Fiqhiyyah
b.      Untuk mencari ridha Allah SWT dan mengembangkan displin ilmu terkhusus dalam qawaid fiqhiyyah ini dengan menbahas apa saja yang menjadi latar belakang dalam makalah ini.
BAB II
SUMBER – SUMBER QAWAID FIQHIYYAH
Qawaid Fiqhiyyah adalah sebuah disiplin ilmu yang menjadi dasar memberikan alasan terhadap para ulama dalam memberikan alasan dari hukum yang mereka perpegangi. Terbentuknya Qawaid Fiqhiyyah sebagai sebuah ilmu, tidak terlepas dari sumber – sumber yang menjadi dasar sehingga menjadi sebuah Qawaid Fiqhiyyah. Adapun sumber-sumber Qawaid Fiqhiyyah di antaranya :
A.    Al quran
Al Quranul Karim merupakan sumber pokok dan dalil utama bagi hukum syariat Islam. Kumpulan firman – firman Allah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad saw dan dinukilkan dengan jalan mutawatir.
Ayat – ayat Al quran Allah turunkan dengan cara yang terpisah – pisah menurut kejadian dan peristiwa dalam masyarakat pada waktu itu. Oleh karena itu peristiwa tersebut di dalam istilah hukum Islam di sebut asbabun nuzul.
Aturan – aturan hukum syariat ini berlakunya berangsur – angsur menurut situasi sebab – sebab turunnya ayat, disesuaikan dengan kemampuan umat pada masa dahulu. Membutuhkan stategi tepat untuk pendekatan kepada masyarakat jahiliyyah untuk meninggalkan kebiasaan yang dilarang oleh syariat Islam dan mengubah hukum mereka yang sudah kuno dengan hukum  baru. Hal itu dapat dilihat dengan jelas seperti aturan larangan minum khamar dan maisir.
Kebanyakan hukum yang ada dalam Al quran bersifat umum dan tidak membicarakan soal – soal juz’i, dengan artian tidak satu persatu dijelaskan secara rinci dalam Al quran. Karena itu,  Al quran membutuhkan penjelasan – penjelasan. Di antaranya melalui Hadits. Dapat diketahui bahwa ayat Al quran yang umum seperti masalah shalat, zakat, jihad dan urusan – urasan lainnya, dijelaskan dengan Hadits. Selain itu, untuk menyingkapi persoalan kekinian yang membutuhkan jawaban untuk persoalan ini, maka para ulama menggunakan ijma’ dan qiyas dalam mengambil suatu hukum.
Qawaid Fiqhiyyah bersumber dari teks Al quran untuk menyusun suatu kaidah, seperti kaidah التيسير تجلب المشقة (Kesulitan itu bisa mendatangkan kemudahan). Dalil yang menjadi patokan dari kaidah ini yaitu dalam surat AlBaqarah ayat 185
... العسر بكم يريد لا و العسر بكم الله يريد ...
“Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu . . .
Surat Al-Baqarah ayat 286
وسعها الا نفسا الله يكلف لا
“Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya”
Dari prinsip-prinsip yang termuat dalam teks ayat di atas memberikan isyarat bahwa dalam hukum syar’i tidak didapati suatu tuntutan yang melewati batas kemampuan hambanya. Pada hakikatnya bertujuan untuk memberikan kemudahan dan keringanan.[2]
Dan contoh kaidah lain yaitu  يزال الضرر ( Kemudharatan itu harus dihilangkan), ayat Al quran yang senada dengan kaidah ini adalah surat Al-Baqarah ayat 231:
ولا تمسكوهن ضراراً لتعتدوا
“janganlah kamu rujuki mereka untuk memberi kemudharatan, karena dengan demikian kamu menganiaya mereka”
B.     Sunnah
Sunnah merupakan segala yang dinukilkan atau diberitakan dari Nabi saw, baik berupa perkataan, perbuatan ataupun ketetapan nabi. Melihat dari pengertian di atas, sunnah dapat dibagi atas : Sunnah Qauliyyah, Sunnah Fi’liyyah, dan Sunnah Taqririyyah.
Sunnah ada kalanya mutawatir dan ada kalanya ahad. Ulama sepakat bahwa hadits mutawatir dapat  menjadi hujjah. Berkenaan hadits ahad, para ulama berbeda pendapat dalam menjadi kan hadits ahad sebagai hujjah. Namun hadits yang shahih yang dapat diterima untuk dijadikan hujjah, dan menjadi sumber kaidah.
Rasulullah saw selalu menyampaikan segala sesuatu dengan cara singkat, padat, lugas dan mudah dipahami. Dengan demikian, ucapan beliau banyak menjadi inspirasi dalam lahirnya qawaid fihiyyah. Contoh kaidah yang merujuk kepada sunnah atau hadits yaitu :
الأمور بمقاصدها   ( hukum semua perkara itu sesuai dengan tujuan atau niatnya)
Kaidah ini berkaitan dengan dalil hadits yang disampaikan oleh Rasulullah yang berbunyi, انما الاعمال بالنيات  “sesungguhnya amal perbuatan bergantung pada niatnya”[3].
Contoh lain seperti kaidah  الضرر يزال  ( kemudharatan itu harus dihilangkan).
Kaidah ini sama dengan hadits Nabi sawyang isinya:
لا ضرر ولا ضرار   (رواه ابن ما جه)
“Tidak boleh membuat mudharat terhadap diri sendiri dan tidak b oleh memudharatkan orang lain”
C.    Ijma’
Setelah Al Quran dan Sunnah, maka Ijma’ sebagai sumber ketiga menurut para ulama sebagai sumber hukum syari’at Islam. Ijma’ merupakan suatu kemufakatan atau kesatuan pendapat para ahli muslim yang mujtahid dalam segala zaman mengenai sesuatu ketentuan hukum syari’at.[4]
Ijma’ sebagai hujjah dengan berdasarkan dalil Al quran yaitu dalam potongan ayat surat An nisa ayat 115
منكم الأمر اولي و الرسول اطيعوا و الله اطيعوا امنوا الذين ياايها
“wahai orang – orang yang beriman taatlah kamu kepada Allah dan taatlah kamu kepada Rasul dan ulil amri dari kamu sekalian...”
 Adapun kaidah yang berdasarkan pada ijma’ yaitu :
  (Tidak ada ijtihad jika sudah ada nash) النص مع اجتهاد لا
D.    Ijtihad
Ijtihad dalam pengertian bahasa yaitu meluangkan kesempatan dan mencurahakan kesungguhan. Adapun dalam pengertian istilah yaitu meluangkan kesempatan dalam usaha untuk mengetahui ketentuan – ketentuan hukum dalam dalil Syari’at
Segala persoalan hukum ulama – ulama mujtgahid selalu memakai ketentuan – ketentuan nash kecuali jika pada suatu persoalan tidak terdapat dalil nash mengungkapkan, maka disini mereka mengqiyaskan perkara ini kepada perkara lain yang memiliki sama illatnya.[5]
Dalam ijtihad, adapun contoh kaidah yang digunakan yaitu “ijtihad yang lalu, tidak bisa dibatalkan ijtihad yang baru”
Hal ini berdasarkan perkataan dari Umar Bin Kattab :
“itu adalah yang kami putuskan pada masa lalu dan ini adalah yang kami putuskan sekarang”
Dari kaidah di atas maksudnya yaitu ijihat yang satu tidak dapat membatalkan ijtihad yang lain, tidak dapat diganggu gugat, selagi tidak ada ijtihad yang lebih kuat yang dapat membantah.
E.     Qiyas
Qiyas dari segi bahasa merupakan mengukurkan sesuatu atas lainnya dan mempersamakannya.
Secara istilah ialah menetapkan hukum sesuatu perbuatan yang belum ada ketentuannya, berdasarkan sesuatu yang sudah ada ketentuan hukumnya.
Adapun rukun qiyas ada empat macam
1.      Asal (pokok) yaitu yang menjadi ukuran (maqis ‘alaih)
2.      Far’un (cabang) yaitu yang diukur (maqis) atau yang diserupakan
3.      Illat, yaitu sebab yang menggabungkan pokok dengan cabang
4.      Hukum, yaitu yang ditetapkan bagi cabang dan sama dengan yang terdapat pada pokok[6]
Salah satu kaidah yang mirip dengan qiyas yaitu
الحوادث تضاف الي اقرب الأوقاف
 “sesuatu yang baru terjadi disandarkan pada waktu terdekatnya”[7]
F.     Istihsan
Istihsan ialah meninggalkan hukum sesuatu hal/peristiwa yang bersandar kepada dalil syara’ menuju kepada hukum lain yang bersandar kepada dalil syara’ pula, karena ada suatu dalil syara’ yang mengharuskan peninggalan tersebut.
Dalam istihsan, ada dua dalil untuk menetapkan hukum sesuatu hal, kemudian seseorang mujtahid meninggalkan salah satu dalil yang jelas/ kuat untuk menuju kepada dalil yang lain, karena ada sesuatu hal.[8]
Salah satu kaidah yang menjadikan istihsan sebagai sumber qawaid yaitu
“Apabila bertentangan dua mafsadat, maka perhatikan mana yang lebih besar madaratnya dengan dikerjakan lebih ringan kepada mudaratnya”
G.    Istishab
Dari segi bahasa perkataan Istishab diambil dari perkataan  “istishabtu ma kaana fil maadhi” artinya saya membawa serta apa yang telah ada waktu yang lampau sampai sekarang.
Secara istilah, melanjutkan berlakunya hukum yang telah ada dan yang telah ditetapkan karena sesuatu dalil, sampai ada dalil lain yang mengubah kedudukan hukum tersebut. [9]
Contoh kaidah yang  merujuk kepada istishab:
الاصل بقاء ما كان علي ما كان ما لم يكن ما يغيره
“Hukum asal itu tetap dalam keadaan tersebut selama tidak ada hal lain yang mengubahnya”
H.    Mashlahah Mursalah
Merupakan kebaikan (mashlahah) yang tidak disinggung-singgung syara’, untuk mengerjakan atau meninggalkannya, sedangkan kalau dikerjakan akan membawa manfaat atau menghindari keburukan.[10]
Salah satu kaidahnya
أنه يقدم في كل ولاية من هو
“Sesuatu yang lebih mampu mewujudkan kemaslahatan dalam tiap wilayah lebih didahulukan”[11]
I.       Urf
‘Urf ialah apa yang biasa dijalankan orang, baik dalam kata-kata maupun perbuatan. Dengan kata lain ialah adat istiadat.
Alasan pengambilan ‘Urf diantaranya
1.      Syari’at Islam dalam mengadakan hukum juga memperhatikan kebiasaan urf yang berlaku padda bangsa Arab, seperti syarat kafaah dalam perkawinan dan urut-urutan perwalian dalam nikah dan pewarisan harta pusaka atas dasar ashabah.
2.      Apa yang dibiasakan orang, baik kata-kata maupun perbuatan, menjadi pedoman hidup mereka yang membutuhkan.
Salah satu contoh kaidah yang menjadikan Urf sebagai sumber qawaidnya
العادة محكمة
“adat istiadat itu ditentukan sebagai hukum”[12]
J.      Sadduz Zari’ah
Yaitu menumbat segala sesuatu yang menjadi jalan kerusakan.
Salah satu rujukan kaidah yaitu
“Menolak kerusakan harus didahulukan daripada menarik kemaslahatan”[13]
BAB III
PENUTUP
A.     KESIMPULAN
Dari pemaparan diatas dapat kita ambil kesimpulan bahwa sumber – sumber qawaid fiqhiyyah diantaranya Alquran, Sunnah, ijma’ , ijtihad, dan qiyas.
B.     SARAN
Dengan mempelajari makalah ini, penulis menyarankan agar kita mampu mengambil informasi dari tentang sumber – sumber qawaid fiqhiyyah, sehingga dapat dipahami dan diamalkan dari penjelasan dari bahan ini ke dalam yang terkait dengan Qawaid Fiqhiyyah.



[2] Ahmad Sudirman Abbas, Qawaid Fiqhiyyah, (Ciputat: ADELINA, 2008), hal. 73
[3] Muhammad Tahir Mansoori, Kaidah-Kaidah Fiqh Keuangan dan Transaksi Bisnis, (Bogor: Ulul Albab Institut, 2010), hal. 9
[4] A. Hanafie, Ushul Fiqh, (Jakarta : Widjaya, 1962), hal. 125
[5] Ahmad Sudjono, Alih Bahasa: Filsafat Hukum dalam Islam, (Bandung : Almaarif, 1981), hal.142
[6] Loc cit, A. Hanafie, hal.128
[7] Op cit, Ahmad Sudirman Abbas, hal, 132
[8] Loc cit, A. Hanafie, hal. 142
[9] Ibid, hal. 141
[10] Ibid, A. Hanafie, Hal. 144
[11] Op cit, Ahmad Sudirman Abbas, hal 141
[12] Imam Musbikin, Qawaid Fiqhiyah, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2001), hal. 91
[13] Ibid


Daftar Pustaka
Abbas, Ahmad Sudirman. 2008. Sejarah Qawaid Fiqhiyyah. Ciputat : Adelina
---------------------------. 2008. Qawaid Fiqhiyyah.Ciputat : Adelia
Hanafie, A. 1962. Usul Fiqh. Jakarata : Widjaya
Sudjono, Ahmad.1981. Alih Bahasa : Filsafat Hukum dalam Islam. Bandung : Almaarif

Tidak ada komentar:

Posting Komentar